Saturday 24 August 2013

Ketika Kekerasan Telah Menjadi Jalan

Ketika Kekerasan  Telah Menjadi Jalan – Sungguh ironis sebenarnya ketika suatu waktu saya melihat pemberitaan di media dimana kekerasan telah terjadi di sebuah tempat yang dimana para pelaku tawurannya adalah sosok agen of change, ya pelakunya adalah para mahasiswa. Sosok orang-orang yang seharusnya memberikan kontribusi dalam bermasyarakat dan kepada dunia pendidikan ternyata justru melakukan hal-hal yang menurut saya kurang pantas. Mari kita berkaca pada beberapa insiden sebelumnya yang terjadi di kampus kita ini di Universitas Negeri Makassar, dimna antara 2 buah fakultas saling serang yang akhirnya menimbulkan korban jiwa, dan bukan hanya 2 fakultas ini yang akan tercoreng namanya, tapi nama kampusnya juga akan tercoreng. Pernah ketika saya pergi ke sebuah intitusi di Makassar, saya ditanyai sama karyawan yang bekerja disana, dia bertanya asal kampus saya dari mana, saya jawab saya dari UNM pak, lalu karyawan itu bilang lagi oh yang sering tawuran itu yah, langsung saya tidak bisa jawab apa-apa toh memang kenyataan  benar adanya. Inilah yang sangat disesalkan, mengapa jalan yang ditempuh harus dalam bentuk kekerasan, tak adakah jalan lain. Saya memang tidak terlalu paham dengan masalah sebenarnya yang terjadi, karena saya juga salah satu Mahasiswa UNM yang sangat baru di kampus ini sehingga saya tidak bisa berkata banyak.

UniversitasNegeri Makassar, kampus dengan segala prestasi dan polemiknya. Tak sadarkah mahasiswa yang melakukan kekerasan fisik tersebut bahwa hal itu sangatlah salah karena akan menghancurkan prestasi yang telah dibangun di kampus ini. Saya mengutip perkataan salah satu tokoh “”Perlu 20 tahun untuk membangun reputasi dan cukup 5 menit untuk menghancurkannya. Jika Anda berpikir tentang hal ini, Anda akan melakukan sesuatu dengan cara berbeda.” Warren Buffett. Jika saja pandangan mahasiswa sejalan dengan perkataan tersebut maka tentunya lebih baik. Bagi saya solusi terbaik untuk menyelesaikan polemik berkepanjangan ini adalah dengan musyawarah, kita panggil pihak-pihak yang terkait lalu kita rangkul dalam satu meja dan kemudian duduk berdampingan, kemudian dibicarakan akar masalahnya, saya rasa hal ini tidaklah sulit asalkan ada kemauan dari setiap pihak dan tentunya juga kesadaran untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut. Salah satu polemik yang baru-baru ini terjadi di Universitas Negeri Makassar adalah demo yang ricuh. Saya setuju jika demo yang dilakukan memang sangat penting untuk menyuarakan aspirasi yang memang pemerintah jarang mau mendengar. Namun yang dipertanyakan adalah jalan yang ditempuh ketika berdemo, mengapa harus jalan kekerasan, ricuh dan bahkan sampai merusak fasilitas yang seharusnya untuk mahasiswa. Kembali pertanyaannya, tak adakah jalan lain selain ricuh?? Tak bisakah kita menyuarakan pendapat dengan lebih bijak dan terencana??. Hakikatnya ketika melakukan demo jangan sampai merampas hak orang lain, contohnya ketika jalan ditutup otomatis masyarakat yang seharusnya kita bela justru akan merasa dirugikan dengan aksi ini. Mereka justru akan menjudge kita dengan hal yang negatif, mereka mungkin akan berkata “ah ini mahasiswa bikin kacau saja”. Harapan kita jadinya akan berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Namun konflik-konflik yang terjadi seperti ini memang sulit dihindari sebenarnya, karena bisa saja ada oknum yang memang mau terjadinya kekerasan, jadi solusinya apa, solusinya adalah dengan membangun kerjasama dan sifat kekeluargaan di antara Mahasiswa sang agen of change.


Akhir kata ada sebuah ucapan dari salah satu terkenal “”Saya tidak yakin perang adalah solusi terbaik. Tak seorang pun menang dalam perang terakhir dan tak seorang pun akan menang pada perang selanjutnya.” Eleanor Roosevelt. 
Comments